KILAS BALIK

Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya. Soekarno merupakan anak dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Nama lahir Soekarno adalah Koesno Sosrodihardjo, tapi karena sering sakit nama tersebut diganti menjadi "Soekarno".
Pada tanggal 28 Desember 1901 keluarga Soekemi pindah ke Ploso, Jombang. Selama di Jombang, Soekarno dan kakak Perempuannya sering tinggal di rumah kakek dan neneknya, Raden Hardjodikromo di Tulung Agung, Jawa timur.

Pada Tahun 1906 sampai dengan 1908 Soekarno mengenyam sekolah dasar di kota Mojokerto. Ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo pindah tugas sebagai guru di Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro yang sekarang dikenal sebagai SDN Purwotengah.

Soekemi kembali di pindah tugas ke Mojokerto sebagai mantri guru (kepala Sekolah) di Eerste Indiandsche School/EIS (Sekolah Dasar Bumiputra). Soekarno bersekolah di EIS sampai dengan kelas 4.

Ayah Soekarno memindahkan anaknya ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa yang dimana menggunakan bahasa belanda sebagai bahasa pengantar. Soekarno lulus dari ELS dengan Ijazah Klein Ambtenaar Diploma (Ijazah untuk dapat menjadi pegawai Negeri).

Soekarno masuk Hogere Burger School (HBS) Surabaya pada tahun 1915. Selama sekolah di HBS Soekarno Indekos di rumah Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam (SI) di gang Peneleh VII Nomor 29 dan 31. Di indekos ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan memulai proses magang Politik
Soekarno merupakan pendiri organisasi Tri Koro Dharmo cabang Surabaya pada tahun 1915. Organisasi Tri Koro Dharmo cabang Surabaya melakukan kegiatan yang sesuai dengan asas organisasi memajukan kebudayaan Jawa, selain itu juga organisasi ini melakukan kegiatan sosial mengumpulkan dana untuk membantu para korban bencana.

Selain aktif di Tri Koro Dharmo cabang Surabaya, Soekarno juga sering menemani Haji Oemar Said Tjokrominoto dalam pertemuan-pertemuan atau rapat besar Sarekat Islam (SI). Soekarno juga turut menghadiri kongres nasional ketiga SI di Surabaya.

Pada tahun 1919, Soekarno bertekad untuk menjadi Pembela Tanah Air, Pemersatu Bangsa, dan Pecinta Rakyat. Selain itu, pada tahun ini Soekarno juga sering menggantikan tugas dari pak Cokro untuk berpidato di bebagai organisasi pemuda dan buruh.

Pada tahun 1921, Soekarno melanjutkan sekolahnya di Technische Hoogeschool te Bandung atau yang sekarang di kenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). saat berkuliah Soekarno aktif dalam kegiatan organisasi dan politik Mahasiswa.

Soekarno menikahi Siti Oetari yang merupakan putri dari H.O.S Tjokroaminoto, yang merupakan mentor politiknya. Pernikahan Soekarno dengan Siti Oetari tidak berlangsung lama hanya sekitar 2 Tahun karena lebih bersifat simbolis.
Pada 21 Januari 1921 Soekarno menulis artikel pertamanya bersama SP. Soedarjo terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam (SI). Artikel ini berjudul "Jerit Kegemparan".
Pada tanggal 7 April 1921 Soekarno kembali menulis sebuah artikel yang berjudul "Intellectueelen". Soekarno aktif dalam menulis artikel politik melawan kolonialisme Belanda.

Soekarno dan Inggit Garnasih menikah pada tanggal 24 Maret 1923. Inggit Garnasih merupakan ibu Kost tempat Soekarno tinggal selama di Bandung. Dari pernikahan keduanya mereka tidak mempunyai anak kandung, akan tetapi mereka mengadopsi 2 orang anak yang bernama Ratna Djuami (Omi) dan Kartika. Inggit juga merupakan salah satu orang yang menemani Soekarno pada saat diasingkan di Ende.
Pada tanggal 25 Mei 1926 Soekarno mengikuti Ujian dan dinyatakan lulus sebagai spesialis di bidang teknik jalan raya, kontruksi pelabuhan, dan pengairan.

Pada saat Dies Natalis ke-6 THS Bandung Soekarno diwisuda bersama dengan 18 Insinyur lainnya. Prof. Dr. Jacob Clay selaku ketua fakultas saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur yang merupakan orang jawa", ketiga orang tersebut adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo.

Soekarno bersama Mr.Iskaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Abdoel Moeis, dan Ir. Anwari mendirikan Algemene Studie Club (ASC) Bandung, yang menjadi cikal bakal Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Tujuan ASC adalah untuk menjadi wadah diskusi dan pendidikan bagi kaum intelektual muda dalam memahami isu-isu sosial, politik, dan ekonomi, serta mencari solusi untuk membebaskan Indonesia dari penjajah Belanda.

Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Regentweg (Jalan Dewi Sartika No 22) dengan dukungan Soenario, Iskaq Tjokrohadisurjo, Sartono, Budyarto Martoatmojo, Samsi Sastrowidagdo, dan Tjipto Mangunkusumo.

Soekarno menerbitkan majalah Soeloeh Indonesia Moeda (SIM) dan bertahan hingga tahun 1931. Beberapa tulisan Soekarno di SIM mengungkapkan pentingnya persatuan antar suku-agama dan golongan demi persatuan Indonesia.
Soekarno dan beberapa petinggi PNI ditahan di Yogyakarta. Soekarno ditangkap karena pergerakannya dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dituduh mengambil bagian dalam organisasi yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Belanda. Soekarno dijatuhkan hukuman 4 Tahun Penjara akan tetapi dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931.
Soekarno menerbitkan koran dengan judul "Fikiran Ra'Jat" dengan semboyan "Kaoem Marhaen!". Koran tersebut terbit sekali seminggu dan di peruntukan untuk pembaca luas di kalangan Marhaen.
Pada tanggal 1 Agustus 1932 Soekarno bergabung dengan Partindo dan berusaha mengusahakan fusi antara Partindo dengan PNI.
Soekarno pergi beberapa hari ke pegunungan Pangalengan, Bandung. Di tempat ini, Soekarno menulis risalah "Mencapai Indonesia Merdeka" yang diterbitkan oleh Haji Umar Ratman. Risalah ini berbicara tentang busuknya sistem politik Imperealisme dan mengutuk seluruh sistem kolonialisme.

Pada Kongres kedua partai Partindo di Surabaya Soekarno terpilih menjadi ketua Partindo.
Soekarno di tangkap kembali di depan rumah MH. Thamrin di Batavia setelah selesai menghadiri rapat pengurus eksekutif Partindo. Alasan Soekarno ditangkap adalah karena Partindo dianggap membahayakan pemerintahan Belanda dengan beberapa aktivitas politiknya.

Pada 14 Januari 1934 pemerintah kolonial Belanda mengasingkan Soekarno ke Ende, Nusa Tenggara Timur. SOekarno diasingkan selama kurang lebih 4 Tahun. Pengasingan ini tidak hanya menjadi hukuman politik, tetapi juga menjadi periode kritis dalam perkembangan pemikiran Soekarno.
Pemerintah kolinial Belanda memutuskan untuk memindahkan Soekarno dan para Petinggi PNI ke Bengkulu. Selama di Bengkulu (1938-1942) Soekarno membentuk kelompok sandiwara "Monte Carlo" dan menghasilkan beberapa naskah toneel. Di Bengkulu, Soekarno juga menjadi anggota Muhammadiyah dan mengajar di sekolah Muhammadiyah. Pada saat di Bengkulu inilah Soekarno bertemu dengan Fatmawati.
Setelah Jepang mengalahkan Belanda pada tahun 1942, Soekarno dibawa kembali ke Jakarta. Awalnya, Belanda ingin membawa Soekarno ke Australia namun rencana itu gagal karena Jepang sudah menguasai daerah tersebut.
Pada Juni 1942, Soekarno menyetujui tawaran Jenderal Hitoshi Imamura seorang panglima tentara Jepang (Seiko Shikikan) untuk bekerja sama dengan tentara pendudukan Jepang. Setelah tiba di Jakarta Soekarno bertemu dengan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, mereka sepakat berbagi tugas untuk membawa Indonesia menuju kemerdekaan.

Pada tangal 16 April 1943 Soekarno membentuk Badan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Badan ini di pimpin oleh Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H Mas Mansur. Pimpinan Putera lebih dikenal dengan nama "Empat Serangkai". Namun pada akhir 1943 Putera dibubarkan.

Soekarno dan Fatmawati menikah pada tanggal 22 Agustus 1943. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai 5 orang anak yaitu Muhammad Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Tentara pendudukan Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) sebagai pengganti PUTERA yang dibubarkan pada akhir 1943. Soekarno ditunjuk sebagai penasehat utamanya. Tujuan dari dibentuknya Jawa Hokokai adalah untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Jepang selama perang dunia II.

Pada tanggal 29 April 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) didirikan dan beranggotakan 59 orang, dimana Soekarno dan Mohammad Hatta tercatat sebagai salah satu anggotanya. BPUPKI dipimpin oleh Radjiman Wedyodiningrat.

Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat ini juga disepakati jika Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk untuk menggantikan BPUPKI yang dibubarkan karena sudah menjalankan tugasnya dengan baik. PPKI beranggotakan 27 orang dengan Soekarno sebagai ketua panitia tersebut.
Kekalahan Jepang pada sekutu membuat golongan muda mendesak Proklamasi kemerdekaan dilakukan secepatnya. Namun, Soekarno dan Hatta menolak tuntutan golongan muda dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang pada sekutu. Hal ini membuat Soekarno dan Hatta diculik oleh golongan muda dan membawanya ke Rengasdengklok.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 dirumahnya, Jalan pegangsaan Timur No. 56, Soekarno membacakan naskah Proklamasi yang disambung dengan pidato tanpa teks. Selanjutnya bendera merah putih yang sudah dijait oleh Fatmawati dikibarkan dan disertai oleh pengiringan lagu Indonesia Raya.

PPKI melakukan sidang untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 serta menetapkan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
Karena situasi di Jakarta tidak aman akibat ancaman dari pasukan sekutu, akhirnya Soekarno dan Hatta memutuskan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini dilakukan demi menjaga keberlangsungan pemerintah RI. Yogyakarta dipilih karena situasi disana aman dan mendapat dukungan penuh dari Sultan Hamengkubowono IX.
Pada tanggal 14 Januari 1946 terjadi upaya pembunuhan terhadap Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Insiden ini dilakukan oleh Khatib Abdul Latief yang merupakan anggota kelompok radikal Darul Islam (DI). Ia menganggap Soekarno tidak mendukung perjuangan Islam secara penuh dan bekerja sama dengan pihak yang dianggap musuh. Beruntung Soekarno tidak terluka dalam insiden ini karena berhasil digagalkan oleh pihak berwajib.

Peristiwa Tiga Juli merupakan peristiwa usaha kudeta yang dilakukan oleh pihak oposisi untuk menggulingkan kabinet Sutan Sjahrir. Peristiwa ini mendapat penolakan keras oleh Soekarno. Soekarno memandang upaya ini sebagai tindakan yang tidak konstitusional dan berpotensi mengancam stabilitas negara yang baru merdeka. Setelah kudeta gagal, Soekarno memerintahkan aparat untuk menindak kelompok yang terlibat dalam kudeta ini.
Upaya pembunuhan kembali terjadi pada Soekarno, kali ini dilakukan pada saat Soekarno sedang dalam perjalanan untuk menghadiri acara di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Motif dari upaya pembunuhan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang menentang kebijakan diplomasi Soekarno dengan Belanda, terutama setelah rencana perundingan Linggarjati yang mulai disusun pada tahun yang sama.

Pada akhir tahun 1946, terjadi perundingan penting antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda yang menghasilkan pengakuan dari Belanda yang mengakui secara De Facto wilayah Indoneisa yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera, sementara sisanya masih menjadi kekuasaan Belanda.
Soekarno mengadakan serangkaian rapat dengan kabinet Sjahrir III dan militer untuk mengantisipasi serangan dari militer Belanda. Beliau juga menginstruksikan penguatan pertahanan di wilayah Jawa dan Sumatera.
Belanda mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan aktivitas militer Indonesia di wilayah yang dianggap "tidak stabil". Namun ultimatum ini ditolak keras oleh Soekarno dan menyatakan bahwa RI akan mempertahankan wilayahnya dengan segala cara.
Belanda memberikan pernyataan bahwa perjanjian Linggarjati sudah tidak berlaku. Setelah mendengar pernyataan ini Soekarno segera mengumpulkan pimpinan militer dan pemerintah untuk mempersiapkan perlawanan.

Belanda mulai melancarkan Agresi Militer I (Operasi Produk), menyerang wilayah RI di Jawa dan Sumatera. Setelah serangan ini Soekarno menyerukan rakyat untuk melakukan perlawanan total.

Pada saat agresi militer I masih berlangsung, Soekarno terus menggalang semangat rakyat melalui pidato-pidatonya. Beliau menyerukan pentingnya mempertahankan kemerdekaan dengan perjuangan bersama.

Dewan keamanan PBB resmi memutuskan agar Indonesia dan Belanda mengentikan Agresi Militer dan memulai perundingan melalui Komisi Tiga Negara (KTN). Soekarno menerima KTN sebagai mediator, namun tetap menyiapkan strategi militer jika Belanda tidak mematuhi gencatan senjata.
Perundingan awal antara RI dan Belanda dimulai dengan mediasi KTN, namun berlangsung Aalot karena Belanda menolak memberikan kedaulatan penuh kepada Indonesia.

Terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda di Desa Rawagede, Karawang. Insiden ini menewaskan lebih dari 400 warga sipil. Soekarno mengecam tindakan ini dan menyebutnya sebagai kejahatan perang.

Soekarno menyetujui perjanjian Renville, meskipun konsekuensinya adalah penarikan TNI dari garis Van Mook ke wilayah Indonesia. Banyak masyarakat yang protes terhadap perjanjian ini, akan tetapi Soekarno menjelaskan bahwa perjanjian ini adalah taktik untuk "membeli waktu" memperkuat TNI.
Kritik terhadap perjanjian Renville semakin menguat, terutama dari kelompok oposisi sayap kiri, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, Soekarno tetap berusaha meredam konflik dengan menyerukan persatuan Nasional.

Pada 19 Juli 1948, tokoh Komunis yaitu Musso datang ke Indonesia dan langsung memimpin PKI. Kedatangan Musso mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin RI termasuk Soekarno, karena ia mempromosikan gagasan revolusi yang bertentangan dengan visi nasionalis Soekarno.
Soekarno mulai menghadapi ketegangan antara kelompok Nasionalis dan Kelompok Kiri, termasuk PKI, yang semakin kuat dibawah komando Musso. Dalam beberapa pidato yang dilakukan, Soekarno menyerukan Persatuan Nasional dan menegaskan perpecahan hanya akan menguntungkan Belanda.

PKI dibawah komando Musso mulai melancarkan pemberontakan, pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, Musso mendeklarasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Soekarno segera mengutuk pemberontakan ini dan memerintahkan TNI dibawah komando Jenderal Sudirman untuk menumpas Pemberontakan tersebut.
Pemberontakan PKI berhasil diredam oleh pemerintah dan membuat Musso tewas dalam peperangan di Ponorogo. Setelah tewasnya Musso, Soekarno menegaskan pentingnya persatuan nasional dan menekankan bahwa pemberontakan bertentangan dengan perjuangan kemerdekaan.

Belanda melancarkan Agresi Militer yang ke II di daerah Yogyakarta. Dalam penyerangan ini Soekarno, Hatta dan beberapa pimpinan Indonesia ditangkap dan diasingkan di beberapa tempat yaitu Parpat, Sumut dan Bangka. Sebelum penangkapan, Soekarno memberikan mandat kepada para pejuang gerilya, termasuk Jenderal Sudirman untuk terus melanjutkan perjuangan.
Setelah Yogyakarta diserahkan kembali ke Indonesia, pada tanggal 6 Juli 1949 Soekarno kembali ke Yogyakarta. kedatangan Soekarno disambut meriah oleh masyarakat yang melihatnya sebagai kemenangan besar bagi perjuangan Indonesia.

Hasil dari KMB (Konferensi Meja Bundar) adalah pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indoneisa Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Soekarno kembali dipilih menjadi Presiden sebagai bagian dari transisi menuju kedaulatan penuh Indonesia.

Raymond Westerling memimpin pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung. Tujuan pemberontakan ini yaitu mempertahankan negara federal RIS dan melawan upaya pembentukan negara kesatuan. Dalam kejadian ini Soekarno kembali menyerukan pentingnya persatuan nasional dan memperingatkan ancaman dari kelompok yang ingin memecah belah Indonesia.
Soekarno resmi mengumumkan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membubarkan RIS serta kembali memilih Yogyakarta sebagai bagian Integral dari negara kesatuan.
Soekarno dihadapkan pada perpecahan politik yang semakin tajam, baik di dalam pemerintahan maupun antara partai politik. Kejadian ini membuat Soekarno kesulitan dalam menjaga kestabilan koalisi pemerintahan, dengan berbagai pihak yang saling berselisih mengenai kebijakan ekonomi dan politik.
Hubungan antara Soekarno dan Militer , khususnya dengan Angkatan Darat semakin tegang. Ketegangan ini terjadi karena ketidakpuasan yang meluas terhadap pemerintahan yang dianggap tidak efektif dalam menangani masalah politik dan ekonomi, serta perbedaan dalam pandangan mengenai cara mengelola negara pasca kemerdekaan.
Sebagai bentuk dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soekarno, sekelompok perwira militer mengadakan pertemuan dan mengeluarkan pernyataan yang mendukung pembentukan pemerintahan yang lebih kuat dan terorganisir.

Pada tanggal 1 Juni 1952 Soekarno menikah dengan Janda asal Salatiga bernama Hartini. Pernikahan ini sempat kontroversial karena pada saat itu Soekarno masih berstatus suami Fatmawati.

Soekarno berkunjung ke Amuntai, Kalimantan Selatan. Di Amuntai Soekarno menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan nasional dan peran Islam dalam suatu negara.
Saat tiba di Tabukan Soekarno disambut dengan upacara oleh pasukan Tambor kerajaan Tabukan. Tujuan Soekarno melakukan kunjungan ke beberapa daerah di Indonesia adalah untuk mempererat hubungan antara pemerintah pusat dengan masyarakat daerah.
Kelompok masyakarat Dayak mengirimkan utusan untuk bertemu Soekarno dengan maksud untuk menyampaikan aspirasi terkait pembangunan di daerah mereka. Pemerintah pada masa itu mulai mengintegrasikan wilayah-wilayah terpencil.
Pada tanggal 7 Juli 1953 Soekarno mengakui sumbangsih Muhammadiyah dalam membangun moral dan pendidikan bangsa, terutama di masa transisi pasca kemerdekaan. Hubungan Soekarno dengan Muhammadiyah juga mencerminkan upayanya untuk menjaga dukungan Islam dalam pemerintahan.

Soekarno mengunjungi rumah pengasingannya di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Rumah tersebut diresmikan sebagai Museum untuk mengenang perjuangan dan refleksi Soekarno tentang konsep Pancasila yang berkembang selama masa pengasingan.

Soekarno menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah, selama di Tanah Suci, Soekarno diasmbut oleh Raja Saud bin Abdulaziz Al Saud. Disana Soekarno menyaksikan prosesi penyucian Ka'bah serta penggantian kain Kiswah. Soekarno juga memberikan saran kepada pemerintah Arab Saudi untuk memperluas Masjidil Haram.

Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat untuk mempererat hubungan diplomatik dan membahas berbagai isu Internasional yang relevan pada masa itu. Selama kunjungan ini, Soekarno bertemu dengan presiden Dwight D. Eisenhower dan wakil presiden Richard Nixon.

Soekarno melakukan kunjungan ke beberapa negara termasuk Uni Soviet dan Negara di Eropa Timur. Kunjungan ini bertujuan untuk mencari dukungan Internasional terkait penyelesaian masalah Irian Barat dan memperluas hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Blok Timur.
Setelah Jatuhnya Kabinet Ali Sastramoamidjo II, presiden Soekarno menunjuk Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana menteri untuk membentuk Kabinet Karya yang lebih dikenal sebagai Kabinet Djuanda. Tujuan dari kabinet ini adalah meninhkatkan stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia.

Untuk meredakan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, Soekarno mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) yang dihadiri oleh berbagai tokoh dari pusat dan daerah. Tujuannya adalah mencari solusi atas ketimpangan pembangunan dan distribusi kekayaan antara pusat dan daerah.

Pada malam hari, saat menghadiri perayaan ulang tahun ke-15 Perguruan Cikini di Jakarta, Soekarno menjadi target percobaan pembunuhan melalui pelemparan granat oleh anggota Darul Islam (DI). Soekarno selaman dalam peristiwa ini, tetapi menewaskan enam anak dan melukai sekitar 100 orang lainnya.
Pada tanggal 17-19 Januari 1958 Soekarno melakukan kunjungan ke Yugoslavia untuk bertemu dengan presiden Josip Broz Tito. Tujuan pertemuan ini adalah untuk membahas hubungan bilateral dan isu-isu internasional. Setelah itu, pada akhir Januari 1958 Soekarno berkunjung ke Suriah dan Mesir untuk memperkuat hubungan diplomatik dan kerjasama antar negara.

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diproklamasikan di Sumatera Barat oleh sekelompok perwira militer dan politisi yang tidak puas dengan pemerintah pusat. Mereka menuntut perubahan dalam pemerintahan dan menolak kepemimpinan Soekarno.
Soekarno merespon pemberontakan PRRI dengan mengerahkan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) untuk memadamkan gerakan tersebut. Operasi militer dilancarkan untuk mengembalikan kontrol pemerintah pusat atas wilayah yang dikuasai PRRI.
Pasukan pemerintah berhasil merebut kembali kota-kota penting yang sebelumnya dikuasai oleh PRRI, menandai berakhirnya pemberontakan sebagai ancaman signifikan terhadap pemerintahan Soekarno.

Pada tahun 1959 Soekarno menikah dengan Kartini Manoppo yang bertugas sebagai pramugari Garuda Indonesia. Pernikahan ini dilakukan secara diam-diam karena pada saat itu Soekarno masih memiliki dua orang istri. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Totok Suryawan Soekarno.
Soekarno semakin kuat mendesak perlunya perubahan sistem pemerintahan. Pembicaraan intensif mengenai langkah-langkah hukum dan politik untuk memperkuat peran presiden berlangsung.
Soekarno memberikan pidato penting yang menegaskan bahwa Republik Indonesia dalam kondisi "Sekarat" dan memerlukan tindakan cepat untuk menyelamatkan bangsa Indoneisa.
Soekarno megeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 serta membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertombangan Agung Sementara (DPAS).
Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 melalui keputusan Presiden. Pembubaran ini dilakukan karena DPR menolak menyetujui rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR), di mana anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden.
Dalam pidato kenegaraan, Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia masih berada dalam proses perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan sejati. Pidato ini memperkuat penerapan Manifesto Politik (Manipol), yang menjadi pedomanperjuangan bangsa, meliputi Pancasila, UUD 1945, dan Trisakti.

Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden untuk membentuk Front Nasional. Organisasi ini bertujuan untuk menghimpun seluruh kekuatan politik, ekonomi, dan sosial guna mendukung Demokrasi Terpimpin. Front Nasional mencakup berbagai elemen masyarakat, termasuk militer, partai politik, dan organisasi masyarakat, serta mendorong pelaksanaan Manipol.
Pada November 1960 hubungan Indonesia dengan Amreika Serikat memburuk secara signifikan. Hal ini dipicu karena adanya dukungan AS kepada Belanda dalam sengketa Irian Barat. Sebagai respon, Soekarno mempererat hubungan dengan Blok Timur yaitu Uni Soviet dan China yang menawarkan bantuan ekonomi dan militer.
Pada tanggal 6 Januari 1961 Soekarno menyampaikan pidato. Dalam pidato ini, Soekarno menegaskan bahwa tahun 1961 adalah tahun perjuangan intensif untuk pembebasan Irian Barat.

Pada bulan Mei 1961 Soekarno melanjutkan kunjungan ke Yugoslaviauntuk bertemu dengan presiden Josip Broz Tito. Kunjungan ini merupakan bagian dari persiapan Gerakan Non-Blok.
Soekarno menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama Gerakan Non-Blok di Beograd, Yugoslavia. Soekarno bersama para pemimpin negara-negara berkembang mendeklarasikan pembentukan Gerakan Non-Blok, sebagai wadah negara-negara yang tidak memihak pada Blok Barat maupun Timur.

Soekarno mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Deklarasi ini menjadi momen penting dalam perjuangan pembebasan Irian Barat.

Soekarno memutuskan pembentukan Komando Mandala yang bertugas mempersiapkan operasi militer merebut Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin Komando Mandala.

Pada saat di Makassar pada tanggal 7 Januari 1962 sempat terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Sebuah Granat meledak di antara iring-iringan mobil rombongan presiden di Jalan Cendrawasih. Meskipun Soekarno tidak mengalami luka akan tetapi, ledakan tersebut mengakibatkan setidaknya 31 korban sipil dan lima orang tewas di lokasi kejadian.

Soekarno bertemu dengan gadis Jepang bernama Naoko Nemoto pada saat kunjungannya ke Jepang. Soekarno akhirnya menikah dengan Naoko Nemoto pada tanggal 3 Maret 1962. Setelah menikah, Naoko Nemoto berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi dan ia menjadi warga negara Indonesia. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Karina Kartika Sari Dewi Soekarno.

Saat Soekarno sedang melaksanakan Sholat Idul Adha di lapangan antara Istana Merdeka dan Istana Negara, Jakarta terjadi perocbaan pembunuhan terhadapnya. Empat orang menembakan pistol ke arahnya, namun tembakan tersebut meleset dan mengenai ketua DPR Zainul Arifin, yang saat itu menjadi imam. Dua anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKKP) presiden, Soedrajat dan Soesilo, juga terluka dalam isiden ini.
Dalam pidatonya pada tanggal 3 Januari 1963, Soekarno secara resmi menentang pembentukan Federasi Malaysia. Soekarno menganggapnya sebagai ancaman Neo-Kolonialisme di kawasan Asia Tenggara.

Soekarno memberikan pidato peringatan 8 tahun konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan persatuan negara-negara dunia ketiga melawan Imperialisme dan Neo-kolonialisme.
Soekarno mengadakan pertemuan politik di Jakarta bersama beberapa pemimpin negara pemimpin negara Asia-Afrika untuk membahas isu pembentukan federasi Malaysia dan solidaritas Anti-Imperialisme.

Pada tanggal 21 Mei 1963 Soekarno menikahi seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris kesenian asal Jawa Timur yang sekaligus penari yang bernama Haryati. Pernikahan mereka di karuniai seorang putri yang diberi nama Ayu Gembirowati.
Soekarno meningkatkan Gerakan “Konfrotasi Malaysia” dengan memobilisasi kekuatan militer di Kalimantan untuk memulai operasi penyusupan ke wilayah perbatasan Sabah dan Serawak.

Dalam pidato hari Kemerdekaan Indonesia, Soekarno mendeklarasikan gerakan “Ganyang Malaysia”. Pidato ini menjadi simbol perlawanan terhadap Federasi Malaysia dan menggugah semangat rakyat Indonesia.
Sebagai respon dari terbentuknya Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963, Soekarno mempertegas sikap melawan Malaysia dengan mendukung penyusupan militer dan operasi di wilayah Sabah dan Serawak.
Soekarno menggalang dukungan dari negara-negara Non-Blok di berbagai Forum Internasional untuk menentang pembentukan Federasi Malaysia.

Soekarno mempromosikan gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) secara luas sebagai landasan Ideologi negara dalam menghadapi tantangan domestic dan Internasional.
Soekarno mengeluarkan pernyataan keras terkait Konfrotasi Malaysia, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mundur dari sikap “Ganyang Malaysia”. Pernyataan ini dikeluarkan setelah Malaysia menerima dukungan besar dari Inggris dan negara-negara persemakmuran. Pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963 dianggap sebagai bentuk dari Neo-Kolonialisme .

Soekarno secara resmi meluncurkan Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) di Jakarta. Operasi ini menginstruksikan rakyat Indonesia untuk meningkatkan perjuangan fisik dan mental melawan Malaysia.
Soekarno meresmikan pembukaan pembangunan proyek Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Monas menjadi simbol kebesaran dan kejayaan bangsa Indonesia. Proyek Monas merupakan program kerja Soekarno untuk membangun identitas nasional dan mengukuhkan semangat revolusi.

Soekarno memberikan pidato penting di Surabaya, memperkenalkan istilah “Manifesto Politik (Manipol)”, yang menekankan integrasi gagasan revolusi dan pembangunan ekonomi. Manipol dirancang sebagai ideologi terpadu untuk memperkuat perjuangan bangsa.

Soekarno dan Yurike menikah pada tanggal 6 Agustus 1964, keduanya bertemu pada saat Soekarno sedang melakukan sambutan Kepresidenan di Jakarta. Pernikahan keduanya tidak berlangsung lama, pada akhir 1967 keduanya resmi berpisah dengan alasan situasi politik di Indonesia yang memanas.
Soekarno menghadiri pertemuan besar di Jakarta yang mendeklarasikan dukungan penuh kepada Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam perjuangan melawan dominasi Barat. Soekarno ingin memperkuat hubungan dengan negara-negara sosialis, seperti Tiongkok, sebagai bagian dari strategi Geopolitik Indonesia melawan Blok Barat.

Soekarno secara resmi membuka Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta. Stadion ini menjadi salah satu simbol ambisi besar Soekarno untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat olahraga dan diplomasi dunia.

Soekarno secara resmi mengumumkan bahwa Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini diambil setelah Malaysia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Soekarno memandang ini sebagai bentuk dukungan PBB terhadap Federasi Malaysia yang dianggap sebagai Neo-Kolonialisme.

Soekarno meresmikan penggunaan mata uang baru, yaitu Rupiah. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi inflasi yang sangat tinggi. Ekonomi Indonesia besar akibat kebijakan Konfrontasi terhadap Malaysia dan krisis keuangan yang terus memburuk.
Soekarno memberikan pidato penting yang menegaskan keberlanjutan revolusi Indonesia. Dalam pidato ini, ia menyebut pentingnya konsolidasi antara militer, PKI, dan elemen nasionalis lainnya. Soekarno berusaha menjaga keseimbangan politik di tengah ketegangan antara kelompok-kelompok yang bersaing, terutama TNI dan PKI.

Soekarno menerima kunjungan dari Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai, untuk memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Hubungan Soekarno dengan negara-negara sosialis semakin erat, seiring dengan sikap Anti-Barat yang ia tonjolkan dalam kebijakan luar negerinya.

Pada 30 September malam Soekarno sedang berada di Istana Merdeka saat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Pada malam itu, sekelompok militer yang mengklaim ingin menyelamatkan revolusi menculik dan membunuh sejumlah Jenderal TNI Angakatan Darat.
Atas saran pada loyalisnya, termasuk Mayjen Pranoto Reksosamodra, untuk alasan keamanan, Soekarno pindah ke Istana Bogor. Situasi keamanan di Jakarta menjadi tidak terkendali akibat kemunculan perlawanan terhadap G30S, yang kemudian dikaitkan dengan PKI.

Soekarno menghadiri upacara pemakaman 7 Jenderal korban G30S di Jakarta. Ia menyerukan rakkyat untuk tetap bersatu dan tidak terpancing oleh situasi. Soekarno mencoba meredam konflik antara TNI Angkatan Darat dan PKI, meskipun posisinya semakin terdesak karena pengaruh militer mulai menguat. Pada saat prosesi pemakaman Soekarno menangis khususnya di makam Jenderal Ahmad Yani yang menjadi salah satu korban G30S/PKI.
Soekarno mengadakan rapat cabinet di Istana Merdeka, untuk membahas krisis nasional pasca G30S. Soekarno menegaskan bahwa dirinya tetap memegang kendali sebagai pemimpin besar revolusi. Di tengah tekanan besar dari militer dan menurunnya kepercayaan publik, Soekarno mencoba menunjukkan bahwa ia masih memiliki otoritas penuh.

Pada pagi hari Soekarno memimpin sidang kabinet di Istana Merdeka. Lalu pada siang hari situasi mulai mencekam Ketika pasukkan tidak dikenal mengepung Istana Merdeka. Soekarno yang merasa terancam meninggalkan sidang menuju Istana Bogor dengan helikopter. Pada malam hari, 3 Jenderal TNI yaitu Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor. Hasil dari pertemuan tersebut adalah Soekarno yang menandatangani “Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)”, yang isinya memberikan wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Berdasarkan “Supersemar”, Soeharto mengeluarkan keputusan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia. Soekarno tidak memberikan tanggapan resmi atas keputusan yang dikeluarkan oleh Soeharto.
Soeharto memerintahkan penangkapan 15 menteri kabinet Dwikora yang dianggap sebagai loyalis Soekarno. Mereka yang ditangkap diduga terlibat dalam kejadian G30S. Penangkapan loyalis soekarno semakin membuat dukungan politik terhadap Soekarno melemah.

Dalam sidang umum MPRS, soekarno menyampaikan pidato pertanggung jawaban atau Nawaksara. Dalam pidato ini, beliau menjelaskan kebijakannya selama memimpin Indonesia. Akan tetapi, pidato Nawaksara Soekarno ditolak oleh MPRS karena dianggap tidak memadai untuk menjelaskan situasi politik saat itu.

Soekarno menikahi gadis berusia 18 tahun asal Tenggarong, Kalimantan Timur yang bernama Heldy Djafar. Pernikahan ini berlangsung di tengah krisis politik dan sosial yang semakin melemahkan posisi Soekarno sebagai Presiden.
Dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-21, Soekarno menyampaikan pidato terkenal yang dikenal sebagai “Jasmerah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah)”. Pidato ini menjadi salah satu pesan terakhir Soekarno kepada bangsa Indonesia sebelum kekuasaannya benar-benar melemah.

Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto sesuai dengan isi dari Supersemar yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil Tindakan yang dianggap perlu gunda memulihkan keamanan dan ketertiban negara
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandate presiden Soekarno. Keputusan ini diambil setelah MPRS menolak pertanggung jawaban Soekarno atas peristiwa G30S/PKI.
Setelah pengangkatan Soeharto, Soekarno ditempatkan dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta. Selama penahanan ini, aksesnya terhadap dunia luar sangat dibatasi, dan ia diawasi ketat oleh pemerintah Orde Baru.
Selama tahun 1969, Kesehatan Soekarno terus memburuk akbat isolasi dan kurangnya perawatan medis yang memadai.
Pada bulan Mei 1970, kondisi Soekarno semakin memburuk, sehingga ia dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto di Jakarta. Soekarno menderita komplikasi penyakit, termasuk gagal ginjal. Selama masa perawatan, akses terhadap Soekarno masih sangat dibatasi, bahkan untuk anggota keluarganya.
Pada saat kondisi Soekarno yang sudah kritis, akses terhadapnya masih dibatasi. Ia hanya ditemani oleh beberapa orang terdekatnya, termasuk putrinya, Sukmawati Soekarnoputri.

Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 pada pukul 07.07 WIB, di usia 69 tahun. Penyebab resmi kematiannya adalah gagal ginjal yang diperparah oleh kondisi kesehatannya yang memburuk. Kepergian Soekarno menandai berakhirnya babak kehidupan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam Ibunya sesuai dengan pesan terakhirnya. Ribuan orang datang untuk mengantarkan dan memberikan penghormatan terakhir kepada sang Proklamator Indonesia.