Soekarno dan Masa Kecilnya

Soekarno dan Masa Kecilnya

“Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya”

          Kalimat di atas merupakan salah satu dari banyak kata-kata bijak yang diucapkan oleh presiden pertama Republik Indonesia dan juga Bapak Proklamator Indonesia yaitu Soekarno. Dari kalimat itu, kita dapat menilai bahwa begitu banyak sejarah, kisah, dan cerita tentang Soekarno yang dapat kita baca dan kita jadikan contoh, panutan, pembelajaran serta motivasi kepada kita semua selaku generasi penerus bangsa Indonesia. Semangat dan kepiawaian Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa indonesia serta gagasan dan strategi dalam memimpin negara patut kita jadikan suri tauladan untuk terus membangun bangsa yang tangguh dan bermartabat. Pentingnya sosok Soekarno dalam sejarah Indonesia.

          Sosok Soekarno yang selama ini kita kenal sebagai Bapak Proklamator, Presiden pertama Republik Indonesia serta pencetus konsep pancasila sebagai dasar negara Indonesia dilahirkan pada saat fajar kebangkitan bangsa Indonesia mulai menyingsing, yaitu masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan nasional. Tepatnya pada Kemis pon 18 Sapar 1831 tahun saka, atau bertepatan dengan 16 Juni 1901 Masehi, di Lawang Sekewang, Surabaya. Ia lahir dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo berasal dari jawa. Raden Soekemi Sosrodihardjo termasuk dari keturunan Sultan Kediri dan beragama Islam, meskipun dalam prakteknya menjalankan ajaran theosofi Jawa. Soekemi termasuk orang yang berpendidikan, dan tamatan sekolah guru di Probolinggo, Jawa timur. Sementara Kakeknya bernama Raden hardjodikromo yang pada saat itu, dipandang oleh masyarakat sekitar mempunyai ilmu hikmah atau (ilmu gaib) dan juga seorang yang memiliki ahli kebatinan.

          Semasa di sekolah, Soekemi termasuk salah seorang murid terpandai. Sehingga mendapatkan kehormatan untuk menjadi guru dan mengajar di sekolah Rendah di Bali. Ia juga menjadi pembantu Profesor Van Der Tuuk, pada waktu bertugas di Bali. Disinilah, ayah dari Soekarno menyunting seorang gadis Bali yang kemudian menjadi ibu Soekarno. Selanjutnya, tidak lama kemudian, Soekemi dipindahkan ke Kota Surabaya dan tetap menjabat sebagai guru, walaupun dengan gaji kecil yang membuatnya sangat amat memberatkan untuk hidup di Surabaya. Soekemi sangat menggemari wayang kulit. Cerita wayang kulit baginya banyak mengandung filsafat dan pelajaran yang amat dalam, tinggi isi dan nilainya. Kegemaran ini kemudian, nantinya menurun kepada anaknya.

          Ibu Soekarno adalah kelahiran Bali tepatnya dari kasta Brahmana, dan berasal dari keturunan bangsawan. Setidak-tidaknya ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Raja Singasari yang terakhir adalah termasuk pamannya. Kemudian, dilihat dari garis ayahnya, Soekarno berasal dari keturunan priyayi rendahan. Serta, Kedudukan sosial-ekonomi keluarga Soekemi hanya agak sedikit lebih baik dari golongan kebanyakan bangsa Indonesia pada saat itu, yang mana nantinya dikemudian hari disebut oleh Soekarno dengan istilah "Marhaen". Tetapi bila dilihat dari kacamata agama dan kepercayaan, Soekarno dapat digolongkan sebagai orang yang berasal dari golongan 'abangan', yaitu golongan penduduk Jawa Muslim, yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.

          Nama pertama Soekarno adalah Kusno. Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Kehadiran Kusno telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil yang pada saat itu tinggal di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Soekarno. Tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan memang lazim dalam kepercayaan orang Jawa (Adams 1986). Saat beranjak dewasa, Soekarno baru memahami bahwa kata “Soekarno” ternyata diambil dari nama salah satu tokoh pewayangan, yaitu Karno. Menurut Soekemi, Karno adalah pahlawan besar dalam cerita Mahabharata. Sembari memegang bahu Soekarno, Soekemi mendoakan putranya agar tumbuh menjadi seorang patriot. Dalam sebuah memoar yang ditulis Cindy Adams, Soekarno juga mengenang kalimat yang diucapkan ibunya pada suatu pagi, bahwa Soekarno dilahirkan pukul setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Ia percaya bahwa suatu hari, Soekarno akan menjadi orang yang mulia dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Berdasar pada kepercayaan itu, Ida Ayu berpesan pada putranya agar selalu ingat bahwa dirinya adalah putra sang fajar. Kelahirannya juga menandai suatu abad baru, yaitu 1901 yang merupakan awal abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menjadi awal zaman baru sekaligus tonggak nasionalisme di kalangan penduduk Bumiputra, yang dimulai dari kaum intelektual (Niel 1970).

          Masa kanak-kanak Soekarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan, sehingga Soekarno pun ikut serta berpindah tempat tinggal. Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Soekarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya. Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $ 25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119). Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Soekarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Soekarno. Soekarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya. Selain menyukai berbagai hal yang memiliki unsur air, Soekarno juga memiliki minat dan kecintaan yang tinggi terhadap seni. Hal itu telah muncul sejak Soekarno masih kecil.

          Satu hal yang unik dari masa kecil Soekarno adalah kegemarannya mengumpulkan bungkus rokok Westminster keluaran Inggris. Kegemaran itu bukan tanpa alasan. Soekarno kecil ternyata mengagumi Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, dan Francis X. Gambar-gambar idolanya itu ditempel di dinding kamar. Soekarno menjaga kumpulan gambar itu dengan nyawanya, karena itu adalah harta yang dimilikinya untuk pertama kali (Adams 1986: 39). Kebiasaan mengumpulkan gambar rupanya berlanjut sampai dewasa. Soekarno gemar mengumpulkan lukisan-lukisan yang indah. Selain gemar mengumpulkan gambar-gambar idolanya, Soekarno juga selalu mengikuti sang ayah menonton pertunjukan wayang kulit purwa. Ia senantiasa duduk di dekat kotak wayang atau di belakang dhalang saat pagelaran berlangsung. Kelak, Soekarno dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kecintaan dan penghayatan tinggi terhadap seni.

          Soekarno memulai pendidikan formal di Sekolah Angka Loro (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Dalam hal pendidikan Soekarno dikenal sebagai anak yang pintar, meskipun tidak tergolong sebagai siswa yang rajin. Meskipun demikian, ia adalah anak yang selalu bertanya tentang apa saja yang terlintas di pikiran dan kurang dimengerti. Pertanyaan tersebut ia tujukan baik kepada guru maupun orang tuanya. Beruntung, ayahnya adalah seorang guru sehingga pertanyaan-pertanyaan Soekarno kecil dapat terjawab dengan baik. Selain di bangku sekolah, Soekarno juga mendapatkan sentuhan pendidikan dari sang ayah. Sekalipun telah belajar selama berjam-jam di sekolah, saat di rumah Soekarno masih harus belajar membaca dan menulis (Fahrudin 2020: 51). Hidup di bawah bayang-bayang Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan Soekarno melewati berbagai penyetaraan jika ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik. Saat berusia 12 tahun, Soekarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu. Upaya itu dilakukan sebagai bentuk penyetaraan pendidikan, sehingga Soekarno dapat mendaftar di Hoogere Burger School (HBS). Sejak 1907, Sekolah Kelas Satu menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan Bahasa Belanda.

          Berkat kepandaiannya, Soekarno dipindahkan ke Europeese Lagere School (ELS). Ia menjadi murid yang menonjol dan giat belajar, terutama dalam ilmu bahasa, menggambar, dan berhitung. Selain itu, Soekarno juga mengambil kursus Bahasa Perancis di Brynette de La Roche Brune. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Soekarno dikirim ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Soekarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Soekarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Soekarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus SalimSneevlietSemaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara (Ricklefs 2005: 375).

          HBS merupakan sekolah yang sukar di masuki oleh seorang inlander (bumi putera), karena terhitung mahal. Tapi justru di HBS inilah buat pertama kalinya Soekarno mengenal teori Marxisme dari seorang gurunya, C. Hartogh, penganut paham sosial demokrat. Perkembangan intelektual Soekarno sangat pesat yang didorong oleh kemiskinannya. Kemiskinan mengakibatkan Soekarno tidak dapat mencari hiburan yang bersifat materil. Sebagai gantinya ia mencari hiburan dalam dunia cita dan alam ilmu pengetahuan, dengan jalan membaca. Menurut pengakuannya, dengan membaca seolah-olah ia dapat bertemu dengan orang-orang besar dari segala bangsa. Dorongan membaca ini mendapat dukungan dari lingkungannya, sebab selama belajar di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah Haji Oesman Said Tjokroaminoto. Dan nyonya tjokro sangat memperhatikan disiplin pelajar-pelajar yang tinggal di rumahnya. Tapi yang lebih penting adalah kepemimpinan Tjokroaminoto sendiri. Soekarno tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk magang politik dari Tjokroaminoto yang merupakan pemimpin politik orang Jawa. Ia dijuluki sebagai "raja yang tidak dinobatkan".

Sumber:

https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Soekarno

https://ppid.serangkota.go.id/detailpost/masa-kecil-sering-disebut-jago-inilah-riwayat-hidup-soekarno-jilid-ii

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *