Soekarno: Politik Identitas dan Bangunan Nasionalisme di Awal Kemerdekaan Indonesia
Pendahuluan
Dalam sejarah politik Indonesia, nama Soekarno bukan hanya identik dengan proklamasi kemerdekaan tetapi juga dengan perumusan dasar ideologis dan strategi kebangsaan. Sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno memikul tanggung jawab besar dalam menyatukan bangsa yang sangat plural dalam hal etnis, agama, dan ideologi. Melalui konsep-konsep seperti Pancasila, Nasakom, dan Demokrasi Terpimpin, Soekarno berusaha membangun pondasi politik yang mampu merekatkan keberagaman tersebut. Artikel ini mengulas bagaimana Soekarno menggunakan politik identitas dan ideologi untuk membangun nasionalisme Indonesia pasca-kemerdekaan.
Latar Belakang Soekarno
Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya dan mendapatkan pendidikan teknik di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Di sana, ia mengembangkan pemikiran politik nasionalis dan mulai aktif dalam gerakan kemerdekaan. Pada tahun 1927, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang menekankan pentingnya kemerdekaan penuh dari kolonialisme Belanda. Ia dikenal sebagai orator ulung yang mampu membangkitkan semangat rakyat dan menyatukan berbagai kelompok sosial-politik melalui retorika kebangsaan.
Pancasila sebagai Pondasi Ideologis
Salah satu warisan terbesar Soekarno adalah gagasan Pancasila, yang pertama kali ia kemukakan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Pancasila terdiri dari lima sila yang mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Soekarno menyebut Pancasila sebagai dasar filosofis negara yang bisa diterima oleh semua golongan, baik Islamis, nasionalis, maupun sosialis.
Pancasila dirancang untuk menjembatani perbedaan mendasar dalam masyarakat Indonesia. Dalam konteks politik identitas, Pancasila berfungsi sebagai narasi pemersatu yang menolak dominasi kelompok mayoritas maupun ideologi tunggal seperti komunisme atau liberalisme.
Konsep Nasakom: Strategi Integrasi Politik
Pada era 1950-an, Indonesia mengalami instabilitas politik yang disebabkan oleh fragmentasi partai dan konflik ideologis. Sebagai jawaban atas kondisi ini, Soekarno mengusulkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Strategi ini berupaya menyatukan tiga kekuatan politik utama: kaum nasionalis (PNI), kelompok Islam (NU, Masyumi), dan komunis (PKI) dalam satu kerangka ideologis negara.
Meski secara teoritis Nasakom bertujuan menyatukan bangsa, secara praktis konsep ini menimbulkan ketegangan baru. Kelompok Islam menolak keras kedekatan pemerintah dengan PKI, sementara militer merasa terancam dengan meningkatnya pengaruh komunis dalam birokrasi negara. Meski demikian, Soekarno tetap mengedepankan Nasakom sebagai pendekatan khas Indonesia dalam menyelesaikan konflik ideologi.
Demokrasi Terpimpin dan Kultus Kepemimpinan
Kekecewaan Soekarno terhadap sistem demokrasi liberal mendorongnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menandai awal era Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem ini, presiden memegang kekuasaan hampir absolut, dan parlemen berperan lebih sebagai simbol ketimbang institusi pengambil keputusan.
Demokrasi Terpimpin ditandai oleh penurunan peran partai politik, pembatasan kebebasan pers, serta penguatan citra Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Retorika dan simbolisme politik menjadi alat utama pemerintahannya. Soekarno menggunakan pidato, seni, dan proyek pembangunan nasional (seperti Monas, Gelora Bung Karno) untuk membangun kebanggaan nasional sekaligus memperkuat posisi politiknya.
Warisan Politik dan Budaya Soekarno
Meski kekuasaannya berakhir setelah peristiwa G30S/PKI 1965 dan naiknya Orde Baru, warisan politik Soekarno tetap kuat. Konsep-konsep seperti Pancasila, nasionalisme anti-imperialisme, dan semangat kemandirian tetap menjadi bagian integral dari diskursus kebangsaan Indonesia. Dalam diplomasi luar negeri, Soekarno juga dikenang sebagai pelopor Gerakan Non-Blok, menjadikan Indonesia sebagai negara yang aktif di kancah internasional tanpa berpihak pada blok Barat atau Timur.
Di bidang budaya, Soekarno berperan dalam membentuk citra Indonesia modern melalui pembangunan infrastruktur nasional, pelestarian seni tradisional, dan penekanan pada identitas sebagai bangsa yang besar dan merdeka.
Kesimpulan
Soekarno adalah tokoh kompleks yang berusaha membangun nasionalisme Indonesia melalui perpaduan ideologi, simbolisme, dan kekuasaan. Dalam politik identitas, ia berhasil merumuskan fondasi pemersatu bangsa melalui Pancasila dan Nasakom. Namun, dalam praktiknya, strategi integrasi tersebut juga membuka jalan bagi otoritarianisme yang mengerdilkan demokrasi. Meski demikian, warisan intelektual dan politik Soekarno tetap menjadi referensi penting dalam memahami dinamika kebangsaan Indonesia hingga hari ini.
Daftar Pustaka dan Sumber Terbuka
Historia.id. Nasakom di Mata Soekarno. https://historia.id
BPIP.go.id. Sejarah Lahirnya Pancasila. https://bpip.go.id
Britannica. Sukarno Biography. https://www.britannica.com/biography/Sukarno
Tirto.id. Soekarno dan Arsitektur Nasional. https://tirto.id
Kompas.com. Soekarno dan Demokrasi Terpimpin. https://www.kompas.com
Cornell Modern Indonesia Project. Sukarno and Guided Democracy. https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/53577
Arsip Nasional RI. Pidato 1 Juni 1945. https://anri.go.id